Selasa, 13 Desember 2011

Messi da Indonésia dan Kisruh Liga Indonesia


EKS pelatih Indonesia asal Bulgaria, Ivan Venkov Kolev, pernah membuat pernyataan mengejutkan di tabloid BOLA sekitar tahun 2004 lalu. Dalam ucapannya yang kemudian dijadikan judul berita besar-besar itu, Kolev mengatakan bahwa “Indonesia Peringkat Empat Asia.” Sebuah pernyataan yang terbilang hanya pujian kosong mengingat ucapan itu keluar setelah timnas gagal di Piala Asia 2004.
Namun apa yang dikatakan Kolev bisa jadi benar. Indonesia sejatinya punya potensi besar untuk jadi pembesar di kancah sepak bola Asia. Tak usah jadi peringkat empat seperti kata Kolev, tapi seharusnya Indonesia tak perlu lagi susah payah ke putaran final Piala Asia atau Asian Games. Lebih penting dari itu, Indonesia juga seharusnya menjadi raja Asia Tenggara.
Kaya Talenta, Kaya Potensi
Seusai laga melawan LA Galaxy, sejumlah pemain timnas menuai pujian dari David Beckham, dkk. Sorotan paling tajam diarahkan pada Andik Vermansyah, pemain tengah yang rajin menyayat sisi kiri pertahan LA Galaxy, satu-satunya pemain Indonesia yang membuat Beckham “gemas” sehingga terpaksa melakukan tekel keras. Tekel yang berhadiah jersey sang megabintang. Selain Andik, pemain-pemain lain juga dipuji habis pelatih LA Galaxy, Bruce Arena. Tapi memang pujian bagi Andik melebihi segalanya.
Seperti yang sudah ditulis Pak Bubup, talenta Andik bahkan konon membuat tertarik Benfica, klub elite Portugal yang diperkuat (eks) bintang Argentina Pablo Aimar. Kabar ini menjadi menghebohkan karena yang merilis ketertarikan Benfica adalah A Bola, media olahraga berpengaruh di negerinya Cristiano Ronaldo itu, meskipun sumber berita A Bola malah pernyataan Saleh Ismail Mukadar yang dimuat Surabaya Post. Tak tanggung-tanggung, A Bola menyebut Andik sebagai Messi da Indonesia, Messi-nya Indonesia!
Jauh sebelum Andik, pemain sayap Elie Aiboy juga sempat menarik perhatian dunia internasional ketika timnas bermain gemilang di Piala Asia 2007. Sayang, waktu itu Elie akhirnya “cuma” merantau ke Malaysia meski banyak klub asal negara-negara Arab yang dikabarkan berminat padanya. Kolev juga sempat mengeluarkan pujian untuk Budi Sudarsono, pemain kesayangannya. Menurut Kolev, Budi memiliki gocekan maut kelas dunia. Satu-satunya kelemahan Budi adalah kalau menggocek yang dilihat bola. Lalu ada pula Syamsir Alam yang direkrut Penarol junior setelah sekian lama ikut liga junior Uruguay di bawah bendera SAD Indonesia.
Intinya, dari waktu ke waktu Indonesia dilimpahi pemain-pemain bintang dengan skill tingkat Asia, bahkan dunia. Namun, seperti kita ketahui bersama, Indonesia minim prestasi. Baik di tingkat Asia Tenggara apalagi dunia, entah di level klub atau timnas, Indonesia melempem. Pujian yang membanjir justru membuat Indonesia tenggelam tak terlihat di peta persepak bolaan dunia.
Apa yang Salah?
Saling menyalahkan tentu bukan sikap bijak. Namun kondisi sepak bola nasional yang menyedihkan ini jelas ada penyebabnya. Ya, semua sepakat kalau Indonesia tidak memiliki liga yang berkualitas. Padahal, ligalah tempat pemain-pemain yang berbakat dan dipuji di sana-sini tadi mengasah kemampuan dan mental. Tanpa liga yang baik, seorang pemain berbakat tak akan pernah jadi bintang dan mengangkat permainan timnasnya.
Kisruh liga nasional yang berujung digelarnya dua liga, LSI dan LPI, sungguh sangat disayangkan. Indonesia sempat jadi tempat belajar banyak federasi sepak bola di Asia saat menggelar Galatama, liga sepak bola semipro pertama di Asia. JFA, PSSI-nya Jepang, konon termasuk satu diantara sekian federasi yang belajar dari Galatama. Tapi jangan coba-coba membandingkan J-League dengan liga Indonesia sekarang.
LSI juga sempat jadi tempat favorit pemain-pemain bintang Asia Tenggara. Kita pikir liga kita bagus karena pemain-pemain bintang dari negara musuh bebuyutan Indonesia–Malaysia, Singapura, Thailand–mau main di sini. Rupanya gemerlap LSI-lah yang membuat mereka silau, bukan kualitas. Maka jangan heran jika pemain asing yang betah di Indonesia kebanyakan tak dipakai lagi di timnasnya. Jangan heran juga jika pemain-pemain Thailand hanya mau main setengah musim di Indonesia, itupun saat Liga Thailand sedang libur.
Sampai kini, tak ada tindakan berarti yang dilakukan PSSI selaku otoritas tertinggi sepak bola nasional untuk menyelesaikan persoalan dualisme kompetisi. Memang Djohar telah menuntut klub-klub anggota PSSI yang membelot ke LSI ke Komisi Etik, tapi tindakan ini kontraproduktif. Reaksi-reaksi PSSI hanya terkesan membenarkan diri sendiri dan selalu menyudutkan pihak yang berseberangan dengan mereka. Kalau begini terus, jurang perbedaan yang ditimbulkan akibat dualisme LPI-LSI ini bakal melebar dan terus melebar.
Hmmm, sia-sia Indonesia punya pemain yang dijuluki Messi da Indonesia kalau federasi dan liganya kisruh. Sepak bola tidak bisa dimainkan sendirian, juga bukan lagi permainan 11 lawan 11. Untuk mencapai prestasi, seluruh elemen sepak bola di negeri ini harus rukun dan saling mendukung. Sayang, kita tak akan mendapatkan jawaban kapan elite sepak bola negeri ini bakal rukun dan saling mendukung.