Industrialisasi
Paper ini mencoba menyarikan lima artikel mengenai industrialisasi dengan menggunakan contoh Afrika Selatan yang menjadi sub-bab buku kumpulan artikel “Development: Theory, Policy, and Practice” dengan editornya Jan K Coetzee, Johann Graaff, Fred Hendricks, dan Geoffrey Wood. Paper pertama yang ditulis oleh Andries Bezuidenhout membahas kebijakan industri (Industrial Policy).
Tiga penulis paper kedua –Quaye Botchway, David Noon, dan Teddy Tsheko Setshedi—menguraikan mengenai teori sistem dalam pembangunan kawasan urban atau perkotaan (“System Theory in Urban Development”). Gilton Klerck menguraikan mengenai industrialisasi dan kapitalisme di Afrika Selatan dalam paper berjudul “Industrialization and the Social Regulation of Capitalism in South Africa.”
Paper keempat adalah “Information and Communication for Development” oleh Simon Burton yang menguraikan teknologi komunikasi di era informasi ini terkait dengan pendekatan baru pembangunan. Paper terakhir dalam Section D ini adalah tulisan Tony elger dan Chris Smith berjudul “Dissemination of Production Models in Developing Society.”
Pengalaman beberapa negara berkembang khususnya negara-negara yang gandrung memakai teknologi dalam industri yang ditransfer dari negara-negara maju (core industry) untuk pembangunan ekonominya seringkali berakibat pada terjadinya distorsi tujuan. Keadaan ini terjadi karena aspek-aspek dasar dari manfaat teknologi bukannya dinikmati oleh negara importir, tetapi memakmurkan negara pengekpor atau pembuat teknologi. Negara pengadopsi hanya menjadi komsumen dan ladang pembuangan produk teknologi karena tingginya tingkat ketergantungan akan suplai berbagai jenis produk teknologi dan industri dari negara maju Alasan umum yang digunakan oleh negara-negara berkembang dalam mengadopsi teknologi (iptek) dan industri, searah dengan pemikiran Alfin Toffler maupun John Naisbitt yang meyebutkan bahwa untuk masuk dalam era globalisasi dalam ekonomi dan era informasi harus melewati gelombang agraris dan industrialis. Hal ini didukung oleh itikad pelaku pembangunan di negara-negara untuk beranjak dari satu tahapan pembangunan ke tahapan pembangunan berikutnya.
Pada dewasa ini yang menjadi bahan perdebatan adalah bagaimana menyusun suatu pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Semakin meningkatnya populasi manusia mengakibatkan tingkat konsumsi produk dan energi meningkat juga. Permasalahan ini ditambah dengan ketergantungan penggunaan energi dan bahan baku yang tidak dapat diperbarui. Pada awal perkembangan pembangunan, industri dibangun sebagai suatu unit proses yang tersendiri, terpisah dengan industri lain dan lingkungan. Proses industri ini menghasilkan produk, produk samping dan limbah yang dibuang ke lingkungan.Adanya sejumlah limbah yang dihasilkan dari proses produksi, mengharuskan industri menambah investasi untuk memasang unit tambahan untuk mengolah limbah hasil proses sebelum dibuang ke lingkungan. Pengendalian pencemaran lingkungan dengan cara pengolahan limbah (pendekatan end of pipe) menjadi sangat mahal dan tidak dapat menyelesaikan permasalahan ketika jumlah industri semakin banyak, daya dukung alam semakin terbatas, dan sumber daya alam semakin menipis.
Persoalannya kemudian, pada era dewasa ini, apa pun sektor usaha yang dibangkitkan oleh sebuah bangsa maupun kota harus mampu siap bersaing pada tingkat global. Walaupun sebenarnya apa yang disebut dengan globalisasi baru dapat dikatakan benar-benar hadir dihadapan kita ketika kita tidak lagi dapat mengatakan adanya produk-produk, teknologi, korporasi, dan industri-industri nasional. Dan, aset utama yang masih tersisa dari suatu bangsa adalah keahlian dan wawasan rakyatnya, yang pada gilirannya akan mengungkapkan kemampuan suatu bangsa dalam membangun keunggulan organisasi produksi dan organisasi dunia kerjanya.
Tetapi akibat tindakan penyesuaian yang harus dipenuhi dalam memenuhi permintaan akan berbagai jenis sumber daya (resources), agar proses industri dapat menghasilkan berbagai produk yang dibutuhkan oleh manusia, seringkali harus mengorbankan ekologi dan lingkungan hidup manusia. Hal ini dapat kita lihat dari pesatnya perkembangan berbagai industri yang dibangun dalam rangka peningkatan pendapatan (devisa) negara dan pemenuhan berbagai produk yang dibutuhkan oleh manusia.
Teknologi memungkinkan negara-negara tropis (terutama negara berkembang) untuk memanfaatkan kekayaan hutan alamnya dalam rangka meningkatkan sumber devisa negara dan berbagai pembiayaan pembangunan, tetapi akibat yang ditimbulkannya merusak hutan tropis sekaligus berbagai jenis tanaman berkhasiat obat dan beragam jenis fauna yang langka.
Gejala memanasnya bola bumi akibat efek rumah kaca (greenhouse effect) akibat menipisnya lapisan ozone, menciutnya luas hutan tropis, dan meluasnya gurun, serta melumernnya lapisan es di Kutub Utara dan Selatan Bumi dapat dijadikan sebagai indikasi dari terjadinya pencemaran lingkungan kerena penggunaan energi dan berbagai bahan kimia secara tidak seimbang (Toruan, dalam Jakob Oetama, 1990: 16 - 20).
Kasus Indonesia Indonesia memang negara “late corner” dalam proses industrialisasi di kawasan Pasifik, dan dibandingkan beberapa negara di kawasan ini kemampuan teknologinya juga masih terbelakang.
Terlepas dari berbagai keberhasilan pembangunan yang disumbangkan oleh teknologi dan sektor indusri di Indonesia, sesungguhnya telah terjadi kemerosotan sumber daya alam dan peningkatan pencemaran lingkungan, khususnya pada kota-kota yang sedang berkembang seperti Gresik, Surabaya, Jakarta, bandung Lhoksumawe, Medan, dan sebagainya. Bahkan hampir seluruh daerah di Jawa telah ikut mengalami peningkatan suhu udara, sehingga banyak penduduk yang merasakan kegerahan walaupun di daerah tersebut tergolong berhawa sejuk dan tidak pesat industrinya.
Masalah pencemaran lingkungan hidup, secara teknis telah didefinisikan dalam UU No. 4 Tahun 1982, yakni masuknya atau dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi, dan atau komponen lain ke dalam lingkungan dan atau berubahnya tatanan lingkungan oleh kegiatan manusia atau proses alam, sehingga kualitas lingkungan turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan menjadi kurang atau tidak dapat lagi berfungsi sesuai peruntukannya.
Dari definisi yang panjang tersebut, terdapat tiga unsur dalam pencemaran, yaitu: sumber perubahan oleh kegiatan manusia atau proses alam, bentuk perubahannya adalah berubahnya konsentrasi suatu bahan (hidup/mati) pada lingkungan, dan merosotnya fungsi lingkungan dalam menunjang kehidupan.
Pencemaran dapat diklasifikasikan dalam bermacam-macam bentuk menurut pola pengelompokannya. Berkaitan dengan itu, Amsyari (Sudjana dan Burhan (ed.), 1996: 102), mengelompokkan pecemaran alas dasar: a).bahan pencemar yang menghasilkan bentuk pencemaran biologis, kimiawi, fisik, dan budaya, b). pengelompokan menurut medium lingkungan menghasilkan bentuk pencemaran udara, air, tanah, makanan, dan sosial, c). pengelompokan menurut sifat sumber menghasilkan pencemaran dalam bentuk primer dan sekunder.
Kebijakan industri
Di dalam pembangunan industri ada tiga aspek penting menurut Bezuidenhout yaitu struktur, strategi, dan kebijak industri. Struktur industri di suatu negara akan sangat berhubungan dengan sektor dominan dalam sistem ekonomi negara itu; hubungan antara negara dan pasar, dan dengan cara mengatur fungsi produksi dan reproduksi.
Strategi industri adalah bagaimana negara mengubah struktur industri untuk memfasilitasi pembangunan industrinya. Tujuan strategi industri adalah mengarahkan atau menstruktur industri untuk mencapai tujuan sosial-ekonomi, seperti menciptakan lapangan pekerjaan dan pengentasan kemiskinan.
Kalau strategi industri lebih berupa pandangan luas restrukturisasi industri sedangkan kebijakan industri mengacu pada kebijakan pemerintah dalam mempromosikan pembangunan industri tanpa intervensi. Kebijakan-kebijakan makroekonomi, pendidikan, dan infrastruktur bisa dikategorikan sebagai kebijakan industri jika mengikuti definisi yang luas. Definisi kebijakan industri yang sempit hanya menyangkut industri tertentu saja.
Kebijakan industri akan sangat tergantung dari strategi industri yang diambil oleh suatu negara. Kebijakan industri ini akan mempengaruhi struktur industri. Struktur industri akan mengacu pada bagaimana interaksi negara dan pasar.
Bezuidenhout membandingkan struktur industri, strategi industri, peran negara, dan langkah-langkah kebijakan industri di Afrika Selatan dari empat perspektif pembangunan yaitu perspektif yang digunakan Bank Dunia, perspektif post-Fordism, perspektif Porterism, dan perspektif pendekatan ekonomi politiknya Fine dan Rustomjee (political economy approach).
Perspektif Bank Dunia akan melihat kekurangan struktur industri akibat upah buruh dan biaya modal terlalu tinggi sehingga sektor manufaktur tidak mampu bersaing akibat diproteksi. Untuk membangun industri yang kompetitif, strategi industri harus diambil adalah pemerintah harus memfokuskan pada peningkatan kepercayaan investor untuk merangsang pertumbuhan.
Intervensi negara harus dikurangi dan untuk mendorong kepercayaan investor negara harus mengeluarkan kebijakan yang pro-ekonomi. Peran negara terbatas hanya membagikan tanah terbatas dan meningkatkan keterampilan dasar pekerja industri. Negara mengeluarkan kebijakan meliberalisasi perdagangan dan keuangan, dan mendukung tertib fiskal untuk meningkatkan kepercayaan investor.
Post-Fordism akan melihat kelemahan industri akibat kebijakan substitusi impor, persoalan rasial di Afrika Selatan yang pada era post-Fordism masih sangat kuat, dan menurunnya produktivitas sektor manufaktur. Untuk mengatasi kelemahan industri, negara harus memfokuskan strategi pada peningkatkan produktivitas dan ekspor industri manufaktur. Negara hanya boleh mengintervensi jika ada kegagalan serius. Tetapi negara harus berupaya membangun kapasitas institusi industri yang baik.
Kebijakan industri yang harus diambil adalah menguatkan pasar melalui kebijakan liberalisasi perdagangan, kebijakan yang mendorong kompetisi, dan meningkatkan peran perusahan menengah dan kecil. Kebijakan lainnya adalah memperbaiki kapasitas kelembagaan demi meningkatkan pengembangan sumber daya manusia, misalnya melalui pelatihan-pelatihan. Negara juga dianjurkan mengeluarkan kebijakan yang menguatkan kemampuan teknologi yaitu dengan mendukung penelitian dan pengembangan.
Porterisme adalah istilah untuk menjelaskan perspektif yang didasarkan pada pemikiran Michael Porter, pendiri Monitor Company. Monitor Company mendapat tugas dari National Economic Forum mempelajari dan membantu memformulasikan kebijakan industri nasional Afrika Selatan. Hasil studi itu melihat strategi industri berseberangan dengan kebijakan industri. Strategi industri bertujuan memaksimalkan laju pertumbuhan ekonomi bagi negara sedangkan kebijakan industri akan memiliki gol yang berbeda.
Kelemahan struktur industri menurut perspektif Porterism antara lain karena lemahnya koordinasi antar-perusahaan di dalam satu kelompok ekonomi; perusahaan fokus pada memproduksi untuk pemerintah bukan fokus pada konsumen dan pesaing; ekspor fokus pada komoditi bukan pada peningkatan nilai tambah; lemahnya keterampilan yang terintegrasi pada kapasitas teknologi; lemahnya kompetisi di pasar lokal; dan lemahnya kemampuan birokrasi pemerintahan.
Karena itu strategi industri terutama fokus pada meningkatkan kemampuan bersaing dengan menyediakan lingkungan yang baik berbasis pasar agar perusahaan bisa beroperasi. Negara hanya harus menciptakan keadaan yang memungkinkan perusahaan bersaing dengan dorongan pasar. Bentuk intervensi terbaik adalah memperkuat faktor pasar.
Langkah-langkah kebijakan yang harus diambil antara lain menciptakan keadaan yang menghidupi bisnis dengan meningkatkan daya saing lokal dan internasional; pengembangan kelompok-kelompok bisnis serupa; mendorong value chain dan pengembangan industri yang terkait dan mendukung industri.
Value chain adalah rantai aktivitas untuk meningkatkan nilai (value). Porter (1998) mengidentifikasi satu rangkaian aktivitas yang umum ada pada perusahaan yaitu barang masuk (inbound logistic), operasi, barang keluar (outbound logistic), pemasaran dan penjualan, dan layanan (service). Setiap aktivitas atau keseluruhannya penting dalam meningkatkan kelebihan kompetitif.
Perspektif keempat mengikuti pendekatan ekonomi politiknya Ben Fine dan Zavareh Rustomjee (1996) yang menguraikan kebijakan industri Afrika Selatan yang didominasi oleh pertambangan. Menurut mereka struktur industri yang lemah akibat ekonomi masih masih didasarkan pada industri yang terdiri dari energi-mineral. Pengaruh dari interes kelas yang terkait dengan komposit energi-mineral membatasi kemampuan berkembang menjadi industri yang kuat.
Pendekatan ekonomi politik Fine dan Rustomjee mengusulkan strategi yaitu negara memelopori investasi pembangunan infrastruktur; secara selektif mengintervensi untuk mengintegrasikan komposit industri mineral-energi ke dalam industri manufaktur. Peran negara dikotomi negara dan pasar harus ditolak. Negaralah yang memegang peran sentral. Fine dan Rustomjee menilai tidak perlu ada usulan kebijakan industri yang spesifik, tetapi langkah-langkah seperti program kerja publik dan mentargetkan industri.
Keempat pendekatan ada penekanan yang berbeda, meskipun semuanya sama-sama sepakat penting memperkuat industri manufaktur. Negara kaya mineral seperti Afrika Selatan adalah mengikuti value chain yang fokus pada penambahan nilai komoditi melalui proses manufaktur sebelum mengekspor atau menjual barang-barang di pasar lokal.
Bezuidenhout menyimpulkan satu hal utama dari proses kebijakan industri di Afrika Selatan adalah peran negara menyangkut langkah-langkah kebijakan pada sisi suplai dan permintaan dan keterlibatan negara dalam pembangunan infrastruktur bangsa. Meskipun sejalan dengan kerangka ekonomi neo-liberal, peran aktif negara berkurang.
Pembangunan urban
Paper kedua, yang ditulis oleh Quaye Botchway, David Noon, dan Teddy Tsheko Setshedi bertiga, membahas peran pemerintah dalam pengembangan ekonomi lokal dengan menstimulasi peluang bisnis di komunitas yang terpinggirkan (orang India, berkulit hitam, dan berwarna) akibat kebijakan aparteid. Dari contoh kasus Provinsi Gauteng, paper ini menarik model untuk pembangunan ekonomi lokal yang berkelanjutan dengan memodifikasi model yang digunakan di Inggris.
Quaye Botchway dalam tesis doktoralnya tahun 1999 berjudul “The emergent dynamics of local economic development: A case study of the Coventry area,” menggunakan model pengembangan ekonomi lokal berkelanjutan dengan empat kunci kebijakan ekonomi yaitu employment (pekerjaan), employability (kesempatan kerja), enterprise (perusahaan), dan environment (lingkungan ekonomi). Interaksi antar-empat kunci kebijakan ekonomi ini melalui konsep “emergence” atau kemunculan.
Emergence mengacu pada fenomena penyebab di satu tingkatan (mikro, meso, makro) memunculkan karakteristik baru di tingkatan lebih tinggi. “Emergence” ini bisa diidentifikasi menjadi tiga jenis. Pertama “physical emergence” atau kemunculkan bersifat fisik; kedua “knowledge emergence” atau kemunculan berupa pengetahuan; dan ketiga “perceptual emergence” atau kemunculan terkait dengan persepsi.
Physical emergence yaitu kemunculan pola hubungan baru berdasarkan spasial dan temporal. Knowledge emergence terjadi ketika hubungan fisik mungkin tidak berubah tetapi pemahaman manusia akan diri sendiri berubah. Perceptual emergence hubungan fisik dan pengetahuan manusia mengenai mereka tidak berubah tetapi persepsi dari pengamat dan atau mereka sendiri bisa berubah. Di dalam konteks pengembangan ekonomi lokal ketiga bentuk itu relevan. Implikasinya pada langkah-langkah kebijakan adalah ketika mengubah satu elemen akan berdampak pada elemen lainnya.
Bagaimana penjelasan kerangka analisis Botchway ini? Kerangka Botchway ini berkaitan dengan upaya lembaga pengembangan ekonomi lokal (LEDA – local economy development agencies) dalam mengembangkan kembali ekonomi lokal. Kerangka ini bisa dijelaskan melalui konsep 4-E: employment, employability, enterprise, dan environment (ekonomi).
Terkait dengan employment, upaya utama LEDA adalah menciptakan pekerjaan yang bisa menjamin keberlanjutan ekonomi. Employability berkaitan dengan respons LEDA pada persoalan pangsa pasar kerja seperti pendidikan dan pelatihan bagi pekerja atau yang baru masuk ke pangsa pasar tenaga kerja. Enterprise adalah proses-proses menstimulasi munculnya kegiatan kewirausahaan dan interaksi dengan investor. Environment (ekonomi) terkait dengan iklim isnis atau ekonomi atau penyediaan infrastruktur fisik yang bisa meningkatkan prospek ekonomi lokal.
Berdasarkan kerangka konsep proses kebijakan 4-E itu, persoalan ekonomi lokal cenderung diatasi melalui manajemen di tingkat aspek-aspek employment, employability, enerprise, dan environment. Manajemen di tingkat lokal terjadi di dalam struktur organisasi dan institusi yang ada, terkait secara hirarki.
Untuk mengakomodasi kemunculan karakteristik persoalan ekonomi lokal, kerangka konsep 4-E harus dimodifikasi. Model baru itu bisa dirumuskan sebagai 5-E sehingga ada ruang untuk awareness dan manajemen karakteristik tertentu. 5-E adalah employment; employability; enterprise, environment, dan emergence. Kerangka ini sudah dibuktikan bermanfaat untuk menganalisis persoalan ekonomi lokal di Inggris tetapi apakah cocok untuk Afrika Selatan?
Menggunakan contoh kasus pembanguan makro-ekonomi di Afrika Selatan di Provinsi Gauteng, terbukti teori 5-E ini relevan. Kesimpulannya?
Model strategi pembangunan 5-E sebagai paradigma baru bisa digunakan untuk konteks pembangunan ekonomi lokal di Afrika Selatan. Pelajaran baik penggunaan 4-E di Coventry (Inggris) tidak membantu untuk jangka waktu panjang jika tanpa melihat dinamika antara keempat kunci kebijakan dan dampak pada wilayah yang lebih luas.
Industrialisasi dan regulasi sosial
Di artikel ketiga dari lima artikel mengenai pembangunan dan industrialisasi, Gilton Klerck penulisnya, menguraikan kaitan antara regulasi sosial dengan industrialisasi, naik-turunnya persoalan Fordism rasial dengan industrialisasi, dan kondisi terkini dengan kemunculan neo-Fordism atau post-Fordism.
Industrialisasi sederhana bisa didefinisikan sebagai sebuah proses di mana porsi sumbangan industri secara umum dan khususnya manufaktur pada ekonomi atau komposisi penerimaan suatu negara meningkat. Biasanya sejalan dengan menurunnya sektor pertanian. Kondisi seperti ini yang terjadi di sejumlah negara berkembang.
Analisis kebijakan hanya menekankan pada industrialisasi saja tidak cukup. Faktor penting adalah kombinasi industrialisasi dan pembangunan sosial-politik. Para analis kebijakan melihat tiga bentuk kebijakan industrialisasi yaitu ekonomi inti (core economies), ekonomi pinggiran, dan ekonomi semi-pinggiran.
Ekonomi inti didasarkan pada industri yang menerapkan teknologi maju dan skill-intensive. Industri ini memiliki isi bernilai tambah tinggi dan tidak sensitif pada persaingan harga karena pasar lebih menejkankan pada kualitas produk dan disain.
Industri dominan dalam ekonomi pinggiran terutama sektor yang tidak berdasarkan sains yaitu mendapatkan nilai keuntungan dari sumber daya alam, buruh murah, dan tidak memiliki kapasitas mengembangkan teknologi maupun inovasi produk. Desain dan metoda produksi terstandarisasi dan pertumbuhan produktivitas lambat. Industri semi-pinggiran berada di antara ekonomi inti dan ekonomi pinggiran yaitu memanfaatkan modal lebih tinggi dan tingkat proses produksi lebih canggih daripada ekonomi pinggiran.
Ekonomi Afrika Selatan pada pertengahan 1990-an dicirikan dengan kesenjangan sosial yang besar dan rendahnya pertumbuhan ekonomi akibat kebijakan politik ekonomi aparteid. Kebijakan politik ekonomi yang pro-kulit putih ini disebut Gelb sebagai Forism rasial yang menjadi ciri khas penerapan Fordism plus kebijakan aparteid. Model kebijakan Fordism rasial ini berkarakteristik industrialisasi kombinasi aparteid dan substitusi import. Industrialisasi ini bercirikan Fordism seperti di negara maju (peningkatan produksi masal untuk dikonsumsi masal) tetapi produksi dan konsumsi terstruktur secara rasialis.
Strategi yang berkembang di Afsel hasil dari pengaruh dua faktor lokal penting. Pertama politik domestik yang berakar pada dominasi kulit putih. Dominasi ini mendorong pembuat kebijakan mengadopsi strategi yang akan meningkatkan standar hidup kulit putih. Kedua adalah masuknya Afsel ke dalam pasar tenaga kerja internasional untuk mendapatkan devisa yang akan digunakan membeli peralatan demi pengembangan pertambangan. Model pembangunan yang muncul di Afsel adalah karikatur dari Fordism di negara berkembang, terutama hubungan antara kesukuan (aparteid) dan kelas (kapitalisme). Tekanan rasial yang terinstitusional membuktikan menjadi kualifikasi utama tipe Fordism yang paling mungkin diterapkan di Afsel. Bentuk industrialisasi Fordism seperti ini mengalami hambatan karena tanpa “aspek sosial buruh atau norma konsumsi masal” yang disyaratkan dalam Fordism yaitu upah buruh yang layak.
Tekanan krisis ekonomi internasional yang dikombinasikan dengan tekanan di dalam Afsel pada Fordism rasial mendorong perubahan kebijakan yang rasialis terutama dalam hubungan perburuhan. Ekonomi dan politik Afsel memasuki tahapan krisis struktural yang tidak akan bisa diatasi jika tidak mengubah kebijakan aparteid. Kebijakan aparteid harus dihapuskan sebelum pertumbuhan ekonomi baru bisa terjadi. Dihapuskannya kebijakan aparteid memungkinkan munculnya model pembangunan yang baru.
African National Congress (ANC) muncul dengan kebijakan makro-ekonomi yang bertujuan menyeimbangkan redistribusi internal yang memprioritaskan pertumbuhan melalui ekspansi sektor barang-barang kebutuhan dasar dan bertujuan orientasi ekspor keluar dengan mencari daya saing internasional sektor manufaktur Afsel.
Apa alternatif dari Fordism rasial? Klerck mengajukan penerapan neo-Fordism dan post-Fordism. Neo-Fordism adalah intensifikasi kebijakan industrialisasi Fordism. Kalau neo-Fordism berasosiasi dengan teknologi baru dengan pekerjaan tanpa keterampilan dan meningkatnya kendali manajemen yang tersentral, post-Fordism lebih pada tenaga kerja multi-terampil dengan tempat kerja kurang hirarkinya. Post-Fordism menjanjikan citra yang lebih optimis bahwa telah terjadi perubahan dibandingkan neo-Fordism.
Informasi, komunikasi dan pembangunan
Di dalam tulisannya berjudul “Information and communication for development,” Simon Burton menguraikan bagaimana peran informasi dan komunikasi untuk mendukung pembangunan. Tujuan Burton adalah menetapkan arena diskusi dengan menunjukkanpertumbuhan nyata konsep informasi untuk ilmu sosial; mencari-cari konsep informasi, komunikasi dan pengetahuan; menyediakan pandangan singkat mengenai hubungan antara komunikasi dan pembangunan, menunjukkan pergeseran teoritis dan praktis dalam strategi; dan mempertimbangkan kampanye informasi dan persoalan teoritis dan praktisnya.
Ia mengajukan tiga kesulitan penting untuk memulai bahasan ini. Pertama, kita hidup pada masa ketika makna “pembangunan” lagi serius-seriusnya dikontestasikan dan ketika bidang studi informasi dan komunikasi sedang berupaya mengikuti praktek sosial berkaitan dengan perubahan teknologi. Kesulitan ini menelurkan pertanyaan: jenis pembangunan dan komunikasi seperti apa yang ingin kita lihat berlaku?
Kesulitan kedua, memang disiplin komunikasi pembangunan nyata-nyata ada dan mencakup rupa-rupa praktek yang beragam, melibatkan banyak aktor, sedikit terfragmentasi dan terpisah-pisah. Hal ini memunculkan pertanyaan mengenai kemungkinan menyajikan model yang bermanfaat dan bisa diimplementasikan dalam konteks yang berbeda-beda.
Ketiga, ada sejarah panjang melaksanakan komunikasi untuk pembangunan. Hal ini mendorong pertanyaan: apa pembelajaran terbaik dari keberhasilan dan apa provisi politik informasi yang lebih umum?
Satu yang perlu diingat, tulis Burton (2001: 435), “Kita harus mencamkan bahwa bagi kebanyakan orang di dunia, ada cara krusial yang bisa meningkatkan hidup mereka yaitu melalui informasi, pengetahuan sumber daya dan praktek komunikasi, dan perdebatan lebih luas mengenai information superhighway mungkin kecil kepedulian pada mereka dengan kebutuhan besar.”
Selanjutnya, Burton menguraikan sejumlah definisi berbagai ahli mengenai informasi. Informasi sesuatu yang abstrak, bukan benda yang nampak. Definisi informasi yang diajukan John Feather adalah “satu set pengetahuan yang dicetak dalam bentuk simbol.” Tulisan-tulisan di paper ini juga adalah informasi mengikuti definisi Feather.
Komunikasi, jika dikaitkan dengan informasi, adalah berbagi informasi dan menginterpretasikan informasi secara budaya dan personal. Komunikasi adalah sebuah proses menggunakan cara-cara tertentu untuk menyampaikan informasi (suara, gambar atau teknologi lain) dan memahaminya (decoding).
Lalu apa bedanya pengetahuan (knowledge) dan informasi? Secara umum knowledge adalah aset atau kapasitas pikiran manusia sedangkan informasi selalu memiliki pirantinya pengantarnya sendiri berupa sistem simbol yang bisa diinterpretasikan. Ketika pengetahuan disampaikan, penerima sesungguhnya menginterpretasi atau menerjemahkan simbol pengantar informasi sampai mereka paham.
Pengetahuan dan informasi adalah hasil kegiatan manusia dan tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Pemahaman ini membawa penelitian mengenai seberapa kuasa kelompok mampu mewakili dunia dan mereka dibandingkan lainnya melalui proses mengomunikasikan informasi. Tekait dengan penelitian pembangunan (development), siapa yang mampu merumuskan pendapat dan mengomunikasikannya akan memiliki kekuasaan.
Jadi bagaimana mengaitkan informasi, komunikasi, dan pembangunan? Muncul banyak istilah yang mencoba melihat informasi, komunikasi, dan pembangunan. Misalnya, komunikasi pembangunan, informasi dan komunikasi untuk pembangunan. Dan, komunikasi saat ini tidak bisa dipisahkan dengan teknologi yang mendorong proses penyampaian informasi dengan berbagai bentuk komunikasi menjadi lebih efisien, efektif, dan powerful.
Ada paradigma dominan di dalam komunikasi untuk pembangunan. Komunikasi untuk pembangunan yang dominan adalah dua langkah berkomunikasi. Ada perantara antara pengirim pesan dengan keseluruhan orang sebagai penerima pasif. Media massa adalah model komunikasi untuk pembangunan masyarakat.
Paradigma dominan dalam komunikasi untuk pembangunan tergantung pada sejumlah asumsi yang saling berhubungan satu dengan lainnya mengenai kekuatan media, kecocokan westernisasi sebagai model organisasi sosial, dan struktur sosial dalam masyarakat tradisional yang tidak terdiferensiasi.
Bordenave, menggunakan kerangka pemikiran Paulo Freire, berargumen pardigma dominan ini mengikuti model komunikasi satu arah (one-way), atas-bawah (top-down), dan linier. Freire menyebutnya “mentalitas transmisi” yang melihat audiens sebagai penerima pasif dan yang menganggap ada perbedaan status dan peran antara pemberi dan penerima.
Paradigma dominan melihat media memiliki peran penting dalam komunikasi untuk pembangunan. Pada kenyataannya negara (state) sering dilihat sebagai sumber utama informasi pembangunan. Negara memiliki peran membentuk lansekap informasi masyarakat. Negara memiliki sejumlah lembaga yang bisa digunakan untuk menyebarkan informasi. Ambil contoh keadaan di Indonesia. Pemerintah (atas nama negara) membentuk departemen komunikasi. Peran negara melalui departemen komunikasi ini sangat kuat pada masa kekuasaan Soeharto.
Pemerintah (kembali atas nama negara) memiliki kekuasaan melalui kebijakan menentukan strategi komunikasi untuk pembangunan. Pemerintah menjadi aktor paling penting ketika menyangkut penentuan infrastruktur informasi masyarakat dan hak warganegara mendapatkan informasi dan mengakses piranti komunikasi.
Kembali media memegang peran penting dalam memelihara ruang publik yaitu arena di mana masyarakat tanpa melihat statusnya bisa saling bicara dan mendengarkan. Media bukanlah pelayan negara (pemerintah) atau pasar tetapi sebagai pemelihara ruang dengan kebebasan mengemukakan pendapat dan mendengarkan pendapat yang lain.
Jika media menjadi salah satu lembaga penting dalam penyebaran informasi, dengan tujuan menyediakan ruang bebas bagi siapa saja untuk mengemukakan pendapat dan mendengarkan yang lain, terkait dengan negara (pemerintah) akan memunculkan pertanyaan politik, teknologi, dan finansial.
Pertanyaan politik adalah mengenai siapa yang memiliki akses pada informasi, siapa yang memiliki hak berkomunikasi, dan siapa yang akan menentukan informasi seperti apa yang isa disediakan. Pertanyaan teknologi adalah mengenai ketersediaan layanan. Dan pertanyaan finansial mengenai siapa yang membayar layanan itu. Jika bukan negara (pemerintah) atau bisnis, lalu siapa yang membayar?
Di bagian lain, Burton menguraikan mengenai social marketing yang digunakan dalam strategi komunikasi untuk pembangunan. Social marketing juga digunakan di Afsel. Tetapi, Burton mengingatkan, kita harus hati-hati dalam menggunakan komunikasi dan informasi untuk mengatasi persoalan mendasar. Mengapa? Pembangunan sering mengenai kekuasaan dan interes. Akses pada informasi dan piranti komunikasi adalah arena di mana kekuasaan dimainkan.
“Jika kita berpikir pembangunan mendukung komunikasi sebagai memainkan sejumlah peran di dalam perjumpaan anara institusi pembangunan dan subyek pembangunan, melalui ahli atau profesional di bidang pembangunan, kita harus menyadari bahwa komunikasi itu sendiri adalah gol atau tujuan, produk yang tidak pernah selesai dibentuk, sama seperti partisipasi,” tulis Burton.
Burton mengambil enam kesimpulan terkait dengan tantangan pemikiran dan mempraktekkan informasi dan komunikasi untuk pembangunan:
(1) Kita dihadapkan pada pilihan yang banyak saluran informasi yang mampu membawa berbagai bentuk informasi berbeda.
(2) Kita dihadapkan pada beragam sumber awal informasi dan luasnya penerima potensial.
(3) Kita dihadapkan pada sejumlah pilihan tujuan transfer informasi.
(4) Kita berada di periode perubahan teknologi yang menumbuhkan banyak kemungkinan komunikasi.
(5) Kita menghadapi keputusan politik yang penting mengenai pembangunan itu sendiri dan kadang mengkonteskan intervensi hasil dari pembangunan.
(6) Ada hal mendasar yang menentukan dalam praktek transfer informasi dan potensi konsekuensi yang tidak diharapkan dari strategi komunikasi yang disiapkan sungguh-sungguh.
Karena buku ini diterbitkan 2001, kesimpulan no 4 sudah terjadi. Istilah masyarakat (society) perlu didefinisikan ulang dengan adanya Internet dan sejumlah layanan di Internet, terutama jaringan sosial, seperti FaceBook, Twitter, dan berbagai fasilitas layanan jejaring lainnya di Internet. Ketika definisi masyarakat berubah, definisi pembangunan (development) juga ikut berubah, terutama jika dikaitkan dengan penyebaran informasi untuk menunjang pembangunan.
Penyebaran model produksi
Salah satu fitur pembangunan kapitalis yang tidak merata adalah adanya perbedaan organisasi sosial produksi dan hubungan pekerja di tingkat internasional. Tony Elger dan Chris Smith mencoba mengeksplorasi bagaimana pengaruh pemindahan produksi dari negara maju ke negara berkembang terhadap model produksi dan hubungan perburuhan. Mereka menggunakan contoh kasus investasi langsung trans-national corporation (TNC) Jepang di Meksiko dan Malaysia.
TNC tidak semuanya mempunyai struktur, strategi, dan karakter institusi yang sama. TNC dari negara-negara Eropa dan AS berbeda dengan TNC dari Jepang. Perbedaan itu berimplikasi strategi investasi di negara berkembang juga berbeda. Berbeda jenis industri berbeda pula kebijakannya terkait dengan paradigman produksi dan hubungan perburuhannya. Berbeda negara sasaran investasinya juga akan berbeda paradigma produksi dan hubungan perburuhannya.
Investasi Jepang di Meksiko mengelompok di bagian utara dekat perbatasan dengan AS. Pada awalnya investasi itu untuk merespon pengetatan migrasi buruh di perbatasan, tetapi kemudian berubah kegiatan produksi difokuskan untuk ekspor mengikuti kebijakan industrialisasi pemerintah Meksiko.
Kebijakan manajemen pabrik-pabrik kendaraan bermotor Jepang di Meksiko bercirikan manajemen senior kuat memegang kendali, tekanan kerja tinggi, kepuasan buruh relatif rendah, ada rotasi kerja, lambat sekali peningkatan kemajuan, ada pelatihan untuk pekerjaan tertentu, dan ada penerapan teknik total quality management.
Berbeda dengan pabrik elektronik. Di pabrik elektronik tidak ada rotasi pekerjaan, buruh tidak terampil, kalau pun ada rotasi dan training akan berdasarkan seleksi dan sedikit sekali kesempatannya, dan tidak ada upaya untuk melibatkan buruh dalam meningkatkan kerja.
Dibandingkan dengan proses produksi di Jepang, pabrik di Meksiko berupaya beradaptasi dengan kondisi lokal sehingga praktek kaizen (just in time) tidak bisa diterapkan. Keterbatasan infrastruktur lokal dan perlunya mengimpor komponen dari Jepang menyebabkan penerapan kaizen menjadi sulit.
Proses produksi pabrik Jepang di Meksiko sangat ketat mengikuti standar sehingga kecil kemungkinan untuk memperbaiki produksi. Proses produksi yang standar ini sesuai dengan buruh yang tidak terampil dan berupah murah. Perbedaan kerja buruh perempuan dan laki-laki sangat ketat.
Malaysia menerapkan strategi industrialisasi mendorong investasi. Investasi Jepang masuk di bidang industri ekstraktif dan industri manufaktur bermitra dengan perusahaan lokal. Kebijakan industri di Malaysia untuk memenuhi pasar lokal sebelum berpindah ke pasar ekspor. Kebijakan berorienasi ekspor ini yang menjadi daya tarik investasi Jepang di Malaysia.
Kebijakan Ekonomi Baru (New Economic Policy) Malaysia yang memberikan peluang lebih banyak pada masyarakat Melayu (dan mendiskriminasikan suku lainnya) mendorong munculnya kelas pekerja dari masyarakat Melayu di pabrik-pabrik beroreintasi ekspor dan tumbuhnya borjuis-borjuis Melayu. Konsekuensinya para investor sektor industri harus menerima pekerja pemudi Melayu (sering dari kampung-kampung) untuk bekerja sebagai buruh perakitan. Suku Cina menduduki posisi sebagai pengawas dan manajer personalia. Segmentasi ini menstruktur jarak sosial yang jauh antara manajer dan pekerja.
Kebijakan “Look East” mendorong perusahaan penanaman modal kerja sama (joint venture) mengirim insinyur dan teknisi untuk belajar ke Jepang. Meskipun ada pelatihan formal di Jepang, tetap saja transfer pengetahuan dari Jepang ke perusahaan di Malaysia terbatas.
Lima artikel di dalam Bagian D buku “Development: Theory, Policy, and Practice” ini menjelaskan kebijakan industrialisasi dan strategi industrialisasi mempengaruhi bentuk industri yang sesuai, termasuk juga bentuk industri pindahan dari negara maju.
Referensi
Coetzee, J.K., Graaff, J., Hendricks, F., dan Wood, G. (Editor). 2001. Development: Theory, Policy, and Practice. New York: Oxford University Press.
Fine, B dan Rustomjee, Z. 1996. The Political Economy of South Africa: From Minerals-Energy Complex to Industrialisation. London: C. Hurst and Co.
Porter, M.E. 1998. Competitive Advantage:Creating and Sustaining Superior Performace: With a New Introduction. New York: The Free Press.
Buku Pengantar Ilmu Ekonomi (Mikro dan Makro) edisi revisi, Rahardja P, Manurung M, Universitas Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar