Rabu, 23 Maret 2011

sektor pertanian


 I.Pendahuluan

Penekanan pembangunan pada sektor modern perkotaan telah terbukti
meningkatkan pertumbuhan di sektor dan lokasi yang hanya memiliki tingkat
produktifitas tinggi. Laju pertumbuhan investasi dan akumulasi modal hanya
terpusat di sektor modern tersebut. Konsep tersebut menginspirasikan
terbentuknya pusat-pusat pertumbuhan di perkotaan (Growth pole economy)
Diharapkan dengan terbentuknya pusat-pusat pertumbuhan tersebut akan terjadi
proses penetesan pembangunan ke daerah-daerah belakang (trickle down process)
 dan pemerataan akan terjadi secara "otomatis" dari kutub-kutub
pertumbuhan ke daerah belakang tersebut (hinterland). Namun pada
kenyataannya penetesan pembangunan itu tidak terjadi, dan yang terjadi adalah
pengurasan sumberdaya yang dimiliki daerah oleh pusat secara besar-besaran
(massive backwash effect). Paradigma pembangunan yang urban biased tersebut
telah menimbulkan berbagai persoalan seperti terjadinya urbanisasi yang
berlebihan (over urbanization) karena akumulasi kapital yang berada di perkotaan.
Urbanisasi yang berlebihan tersebut pada akhimya menimbulkan berbagai
persoalan di kota dan yang terjadi bukan lagi economies of scale (economies of
agglomeration) namun justru diseconomies of scale. Kota-kota besar tumbuh
dengan cepat sebagai pusat pertumbuhan wilayah yang sering mengabaikan
fungsinya untuk memberikan
pelayanan kepada daerah hinterland
Di lain pihak, daerah-daerah belakang menjadi kekurangan sumberdaya
akibat pengurasan yang dilakukan oleh kota, baik itu sumberdaya alam,
sumberdaya manusia dan sumberdaya modal yang merupakan penentu
kemajuan dan pembangunan. Akibatnya kesenjangan spasial antara perkotaan
dan perdesaan terjadi dan terakumulasi dari waktu ke waktu. Selain itu
kegagalan pemerintah di masa lalu disebabkan karena begitu kuatnya dominasi
pemerintah pusat yang mengarah kepada terjadinya kerusakan moral (moral
hazard). Kebijakan yang ditempuh bersifat top down dan seringkali tidak sesuai
dengan kebutuhan daerah (lokal). Kebijakan yang sentralistik dan adanya
perilaku moral hazard tersebut telah menyebabkan alokasi sumberdaya yang
tidak efisien,dan seringkali merusak tatanilai yang dianut oleh masyarakat,
sehingga kemampuan dan daya kreasi masyarakat menjadi lumpuh, masyarakat
menjadi tidak memiliki inovasi dalam mengembangkan diri dan daerahnya.
Pemerintahan yang sentralistik dengan kekuasaan dan kewenangan yang sangat
luas telah memberikan kesempatan kepada oknum pemerintah yang
tidak bertanggung jawab dengan berperilaku yang mendahulukan kepentingan
dirinya sendiri dari pada kepentingan masyarakat luas. Mereka berusaha selalu
mengejar keuntungan yang sebesar-besarnya (rent seeking), sehingga
menyebabkan terjadinya kegagalan pasar (market failure) dan juga dapat
menyebabkan terjadinya kegagalan pemerintah (government failure). Perilaku
tersebut telah menghambat terjadinya perubahan dinamik guna melakukan
penyesuaian penyesuaian ekonomi (economic adjustment) yang diperlukan dan
pada akhirnya perilaku para pencari rente (rent seekers) akan merugikan
kepentingan masyarakat keseluruhan. Berdasarkan pengalaman berbagai
kegagalan tersebut, maka diperlukan perubahan paradigma pembangunan
wilayah yang lebih membatasi kekuasaan pemerintah hanya kepada bidangbidang
yang disebut "public good" .

II.Pembahasan
2.1 Pertanian
Pertanian adalah kegiatan pemanfaatan sumbar daya hayati yang dilakukan manusia untuk menghasilkan bahan pangan, bahan baku industri, atau sumber energi, serta untuk mengelola lingkungan hidupnya. Kegiatan pemanfaatan sumber daya hayati yang termasuk dalam pertanian biasa difahami orang sebagai budidaya tanaman atau bercocok tanam  serta pembesaran  (raising), meskipun cakupannya dapat pula berupa pemanfaatan hwan  dan pertanian  dalam pengolahan produk lanjutan, seperti pembuatan keju dan tempe atau sekedar ekstraksi semata, seperti penangkapan ikan atau eksploitasi hewan
Bagian terbesar penduduk dunia bermata pencaharian dalam bidang-bidang di lingkup pertanian, namun pertanian hanya menyumbang 4% di dunia. Sejarah  sejak masa kolonial sampai sekarang tidak dapat dipisahkan dari sektor pertanian dan perkebunan, karena sektor - sektor ini memiliki arti yang sangat penting dalam menentukan pembentukan berbagai realitas ekonomi dan sosial masyarakat di berbagai wilayah Indonesia. Berdasarkan data  tahun 2002, bidang pertanian di Indonesia menyediakan lapangan kerja bagi sekitar 44,3% penduduk meskipun hanya menyumbang sekitar 17,3% dari total pendapatan domestik bruto.
Kelompok ilmu-ilmu pertanian mengkaji pertanian dengan dukungan ilmu-ilmu pendukungnya.  Usaha tani (farming) adalah bagian inti dari pertanian karena menyangkut sekumpulan kegiatan yang dilakukan dalam budidaya. Petani adalah sebutan bagi mereka yang menyelenggarakan usaha tani, sebagai contoh "petani tembakau" atau "petani ikan". Pelaku budidaya hewan ternak (livestock) secara khusus disebut sebagai peternak.

2.2Sektor Pertanian dan Struktur Perekonomian Indonesia

Struktur perekonomian Indonesia merupakan topik strategis yang sampai sekarang masih menjadi topik sentral dalam berbagai diskusi di ruang publik. Kita sudah sering mendiskusikan topik ini jauh sebelum era reformasi tahun 1998. Gagasan mengenai langkah-langkah perekonomian Indonesia menuju era industrialisasi, dengan mempertimbangkan usaha mempersempit jurang ketimpangan sosial dan pemberdayaan daerah, sehingga terjadi pemerataan kesejahteraan kiranya perlu kita evaluasi kembali sesuai dengan konteks kekinian dan tantangan perekonomian Indonesia di era globalisasi.
Tantangan perekonomian di era globalisasi ini masih sama dengan era sebelumnya, yaitu bagaimana subjek dari perekonomian Indonesia, yaitu penduduk Indonesia sejahtera. Indonesia mempunyai jumlah penduduk yang sangat besar, sekarang ada 235 juta penduduk yang tersebar dari Merauke sampai Sabang. Jumlah penduduk yang besar ini menjadi pertimbangan utama pemerintah pusat dan daerah, sehingga arah perekonomian Indonesia masa itu dibangun untuk memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya.
Berdasarkan pertimbangan ini, maka sektor pertanian menjadi sektor penting dalam struktur perekonomian Indonesia. Seiring dengan berkembangnya perekonomian bangsa, maka kita mulai mencanangkan masa depan Indonesia menuju era industrialisasi, dengan pertimbangan sektor pertanian kita juga semakin kuat.
Seiring dengan transisi (transformasi) struktural ini sekarang kita menghadapi berbagai permasalahan. Di sektor pertanian kita mengalami permasalahan dalam meningkatkan jumlah produksi pangan, terutama di wilayah tradisional pertanian di Jawa dan luar Jawa. Hal ini karena semakin terbatasnya lahan yang dapat dipakai u
ntuk bertani. Perkembangan penduduk yang semakin besar membuat kebutuhan lahan untuk tempat tinggal dan berbagai sarana pendukung kehidupan masyarakat juga bertambah. Perkembangan industri juga membuat pertanian beririgasi teknis semakin berkurang.
Selain berkurangya lahan beririgasi teknis, tingkat produktivitas pertanian per hektare juga relatif stagnan. Salah satu penyebab dari produktivitas ini adalah karena pasokan air yang mengairi lahan pertanian juga berkurang. Banyak waduk dan embung serta saluran irigasi yang ada perlu diperbaiki. Hutan-hutan tropis yang kita miliki juga semakin berkurang, ditambah lagi dengan siklus cuaca El Nino-La Nina karena pengaruh pemanasan global semakin mengurangi pasokan air yang dialirkan dari pegunungan ke lahan pertanian.
Sesuai dengan permasalahan aktual yang kita hadapi masa kini, kita akan mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pangan di dalam negeri. Di kemudian hari kita mungkin saja akan semakin bergantung dengan impor pangan dari luar negeri. Impor memang dapat menjadi alternatif solusi untuk memenuhi kebutuhan pangan kita, terutama karena semakin murahnya produk pertanian, seperti beras yang diproduksi oleh Vietnam dan Thailand. Namun, kita juga perlu mencermati bagaimana arah ke depan struktur perekonomian Indonesia, dan bagaimana struktur tenaga kerja yang akan terbentuk berdasarkan arah masa depan struktur perekonomian Indonesia.
Struktur tenaga kerja kita sekarang masih didominasi oleh sektor pertanian sekitar 42,76 persen (BPS 2009), selanjutnya sektor perdagangan, hotel, dan restoran sebesar 20.05 persen, dan industri pengolahan 12,29 persen. Pertumbuhan tenaga kerja dari 1998 sampai 2008 untuk sektor pertanian 0.29 persen, perdagangan, hotel dan restoran sebesar 1,36 persen, dan industri pengolahan 1,6 persen.
Sedangkan pertumbuhan besar untuk tenaga kerja ada di sektor keuangan, asuransi, perumahan dan jasa sebesar 3,62 persen, sektor kemasyarakatan, sosial dan jasa pribadi 2,88 persen dan konstruksi 2,74 persen. Berdasarkan data ini, sektor pertanian memang hanya memiliki pertumbuhan yang kecil, namun jumlah orang yang bekerja di sektor itu masih jauh lebih banyak dibandingkan dengan sektor keuangan, asuransi, perumahan dan jasa yang pertumbuhannya paling tinggi. Data ini juga menunjukkan peran penting dari sektor pertanian sebagai sektor tempat mayoritas tenaga kerja Indonesia memperoleh penghasilan untuk hidup. Sesuai dengan permasalahan di sektor pertanian yang sudah disampaikan di atas, maka kita mempunyai dua strategi yang dapat dilaksanakan untuk pembukaan lapangan pekerjaan bagi masyarakat Indonesia di masa depan. 
Strategi pertama adalah melakukan revitalisasi berbagai sarana pendukung sektor pertanian, dan pembukaan lahan baru sebagai tempat yang dapat membuka lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat Indonesia. Keberpihakan bagi sektor pertanian, seperti ketersediaan pupuk dan sumber daya yang memberikan konsultasi bagi petani dalam meningkatkan produktivitasnya, perlu dioptimalkan kinerjanya. Keberpihakan ini adalah insentif bagi petani untuk tetap mempertahankan usahanya dalam pertanian. Karena tanpa keberpihakan ini akan semakin banyak tenaga kerja dan lahan yang akan beralih ke sektor-sektor lain yang insentifnya lebih menarik.
Strategi kedua adalah dengan mempersiapkan sarana dan prasarana pendukung bagi sektor lain yang akan menyerap pertumbuhan tenaga kerja Indonesia. Sektor ini juga merupakan sektor yang jumlah tenaga kerjanya banyak, yaitu sektor perdagangan, hotel, dan restoran serta industri pengolahan. Sarana pendukung seperti jalan, pelabuhan, listrik adalah sarana utama yang dapat mengakselerasi pertumbuhan di sektor ini.
Struktur perekonomian Indonesia sekarang adalah refleksi dari arah perekonomian yang dilakukan di masa lalu. Era orde baru dan era reformasi juga telah menunjukkan bahwa sektor pertanian masih menjadi sektor penting yang membuka banyak lapangan pekerjaan bagi masyarakat Indonesia. Sektor pertanian juga menyediakan pangan bagi masyarakat Indonesia. Saat ini kita mempunyai kesempatan untuk mempersiapkan kebijakan yang dapat membentuk struktur perekonomian Indonesia di masa depan. Namun, beberapa permasalahan yang dihadapi sektor pertanian di masa ini perlu segera dibenahi, sehingga kita dapat meneruskan hasil dari kebijakan perekonomian Indonesia yang sudah dibangun puluhan tahun lalu, dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia sampai saat sekarang ini.


2.4Dampak-dampak terhadap sektor pertanian
Dampak Investasi Sektor Transportasi Terhadap Sektor-Sektor Perekonomian
Sebenarnya yang diharapkan dari investasi suatu sektor adalah adanya
dampak yang dihasilkan oleh sektor tersebut terhadap perekonomian. Dampak
yang ditimbulkan oleh investasi suatu sektor terhadap sektor lainnya lebih
difokukan pada dampak output dari suatu sektor terhadap sektor-sektor
perekonomian lainnya. Hasil perhitungan data Input-Output Tahun 2000 dengan
menggunakan klasifikasi 66 sektor yang diagregasi menjadi 14 sektor yang
disesuaikan dengan kebutuhan penelitian. Hasil perhitungan ini lebih
difokuskan pada subsektor-subsektor yang terdapat di Sektor Transportasi.
Berdasarkan data Input-Output Tahun 2000 dengan menggunakan klasifikasi 66
sektor, maka terdapat lima subsektor yang dikategorikan sebagai Subsektor
Transportasi adalah Subsektor Kereta Api, subsektor Angkutan Darat, Subsektor
Angkutan Laut, Subsektor Angkutan Udara, dan Subsektor Jasa Penunjang
Angkutan (misalnya Pelabuhan Laut, Pelabuhan Udara, dan sebagainya).
Berdasarkan hasil analisis data Input-Output Tahun 2000 yang dilakukan
terhadap ke lima Subsektor Transportasi untuk melihat dampak terhadap sektor sektor perekonomian lainnya.

2.5Dampak Tsunami Terhadap Sektor Pertanian


Terdapat 9 kabupaten/kota yang terkena tsunami di NAD. Daerah yang mengalami kerusakan lahan pertanian cukup berat terjadi di Kab. Aceh Besar, Aceh Barat Daya, Pidie, Bireun, dan Aceh Jaya. Ribuan hektar tercemar lumpur yang terbawa gelombang tsunami. Kondisi di lapangan pasca tsunami terlihat pada kondisi rumput yang mati total. Masyarakat khawatir sawah mereka tidak dapat ditanami untuk waktu yang lama karena kadar garam yang terlalu tinggi. Selain areal sawah, ratusan ribu sumur penduduk pun ikut tercemar. Kondisi ini menyebabkan pembangunan sektor pertanian terhenti dan memerlukan penanganan serius untuk perbaikan.Gempa bumi, masuknya air laut (salinitas) dan tebalnya endapan lumpur (sedimen) membuat kerusakan lahan pertanian yang serius. Secara umum kerusakan di pantai barat lebih berat dibanding pantai timur. Di pantai barat, tinggi timbunan lumpur yang menutup lahan umumnya di atas 20 cm, dibanding di pantai timur yang umumnya ri bawah 20 cm. Lumpur tebal (>10 cm) umumnya dijumpai pada jarak 3-4 km dari pantai, makin dekat ke pantai ketebalan lumpur makin tipis. Hasil analisa laboratorium yang dilakukan oleh Tim Puslitbangtanak, Badan Litbang Pertanian, terhadap contoh lumpur dan tanah yang diambil di beberapa lokasi menunjukkan tingginya daya hantar listrik (DHL), >10 dS/m untuk lumpur dan 2  12 dS/m untuk tanah permukaan. Umumnya tanaman semusim seperti jagung, kacang tanah, dan padi mulai terganggu pertumbuhannya pada DHL 4 dS/m. Kandungan garam pada contoh lumpur dan tanah juga cukup tinggi yaitu 2.000-26.900 ppm untuk lumpur dan 140  6.000 ppm untuk tanah.Tingkat kerusakan lahan yang terjadi a.l. lahan sawah (termasuk subsektor hortikultura) seluas 20.101 ha, ladang tegalan (tanaman palawija dan horti) 31.345 ha, dan perkebunan diperkirakan 56.500 - 102.461 ha (data FAO  Deptan) yang terdiri atas lahan perkebunan karet, kelapa, kelapa sawit, kopi, cengkeh, pala, pinang, coklat, nilam, dan jahe. Adapun jumlah ternak yang mati ataupun hilang adalah 78.450 ekor sapi, 62.561 ekor kerbau, domba 16.133 ekor, kambing 73.100 ekor, dan unggas 1.624.431 ekor.Infrastruktur usahatani, seperti jaringan irigasi, bangunan irigasi, jaringan saluran tingkat usahatani, jalan usahatani, pematang, terasering (lahan kering) serta bangunan petakan lahan usahatani pun tak luput dari kerusakan. Disamping itu juga berbagai peralatan, seperti hand tractor, pompa air, traktor besar, alat pengolah nilam, karet, minyak kelapa, dan pengolah dendeng ikut rusak.FAO memperkirakan kehilangan produksi bidang pertanian mencapai US$ 78,8 juta, dan prakiraan kerusakan infrastruktur pertanian sebesar US$ 33,4 juta. Upaya rehabilitasi di wilayah pantai barat diperkirakan membutuhkan waktu sekitar lima tahun. Sedangkan pantai timur yang kerusakannya relatif lebih ringan dapat direhabilitasi dalam kurun waktu satu hingga dua tahun.

III. Peranan Sektor Pertanian
Sumbangan sektor pertanian terhadap perekonomian Kabupaten Deli Serdang masih sangat dominan terutama tanaman bahan makanan dan perkebunan. Namun demikian, konstribusi sektor pertanian terhadap pembentukan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) kabupaten Deli Serdang dari tahun ke tahun cenderung mengalami penurunan. Jika tahun 2004 sektor ini menyumbang sebesar 15,29 % berturut-turut turun menjadi 13,34 % pada tahun 2005, menjadi 12,19 pada tahun 2006 dan kembali menurun pada tahun 2007 menjadi 11,17 % serta tahun 2008 menjadi 10,82%.

Pada periode 2004 – 2008 untuk Tanaman Bahan Makanan yang didominasi oleh komoditi padi dan palawija cenderung mengalami peningkatan yaitu dari 5,22 % pada tahun 2004 menjadi 5,24 % pada tahun 2005 dan naik menjadi 5,60 % tahun 2006. Namun pada tahun 2007 kontribusi subsektor ini mengalami penurunan menjadi sebesar 5,11 % dan kembali naik pada tahun 2008 menjadi 5,26%, hal tersebut dimungkinkan oleh semakin berkurangnya luas lahan sawah sebagai akibat alih fungsi lahan antara lain dari tanah lahan persawahan/ladang menjadi pemukiman.Sektor pertanian sampai saat ini masih merupakan basis ekonomi rakyat di pedesaan, menguasai hajat hidup sebagian besar penduduk, menyerap lebih dari sepertiga jumlah tenaga kerja di Kabupaten Deli serdang. Pada tahun 2008, dari total 645.977 pekerja umur 10 tahun keatas di Kabupaten ini adalah sebanyak 219.061 jiwa atau 33,91% nya bekerja di sektor pertanian.
3.1PERKEMBANGAN SEKTOR PERTANIAN
1. Peranan Sektor Pertanian
Menurut Kuznets, Sektor pertanian di LDC’s mengkontribusikan thd pertumbuhan dan pembangunan ekonomi nasional dalam 4 bentuk:
a.Kontribusi Produkè Penyediaan makanan utk pddk, penyediaan BB untuk industri manufaktur
   spt industri: tekstil, barang dari kulit, makanan & minuman
b.Kontribusi Pasarè Pembentukan pasar domestik utk barang industri & konsumsi
c.Kontribusi Faktor ProduksièPenurunan peranan pertanian di pembangunan ekonomi, maka
   terjadi transfer surplus modal & TK dari sector pertanian ke Sektor lain
d.Kontribusi Devisaè Pertanian sbg sumber penting bagi surplus neraca perdagangan (NPI) melalui ekpspor produk pertanian dan produk pertanian yang menggantikan produk impor.

Kontribusi Produk.
Dalam system ekonomi terbuka, besar kontribusi produk sector pertanian bisa lewat pasar dan lewat produksi dg sector non pertanian.
§ Dari sisi pasar, Indonesia menunjukkan pasar domestic didominasi oleh produk pertanian dari LN seperti buah, beras & sayuran hingga daging.
§ Dari sisi keterkaitan produksi, Industri kelapa sawit & rotan mengalami kesulitan bahan baku di dalam negeri, karena BB dijual ke LN dengan harga yg lebih mahal.

Kontribusi Pasar.
Negara agraris merup sumber bagi pertumbuhan pasar domestic untuk produk non pertanian spt
pengeluaran petani untuk produk industri (pupuk, pestisida, dll) & produk konsumsi (pakaian,
mebel, dll)
Keberhasilan kontribusi pasar dari sector pertanian ke sector non pertanian tergantung:
§ Pengaruh keterbukaan ekonomiè Membuat pasar sector non pertanian tidak hanya disi dengan produk domestic, tapi juga impor sbg pesaing, shg konsumsi yg tinggi dari petani tdk menjamin pertumbuhan yg tinggi sector non pertanian.
§ Jenis teknologi sector pertanianè Semakin moderen, maka semakin tinggi demand produk industri non pertanian

Kontribusi Faktor Produksi.
F.P yang dapat dialihkan dari sector pertanian ke sektor lain tanpa mengurangi volume produksi pertanianè Tenaga kerja dan Modal

Di Indonesia hubungan investasi pertanian & non pertanian harus ditingkatkan agar
ketergantungan Indonesia pada pinjaman LN menurun. Kondisi yang harus dipenuhi untuk
merealisasi hal tsb:
§ Harus ada surplus produk pertanian agar dapat dijual ke luar sectornya. Market surplus ini harus tetap dijaga & hal ini juga tergantung kepada factor penawaran è Teknologi, infrastruktur & SDM dan factor permintaan è nilai tukar produk pertanian & non pertanian baik di pasar  domestic & LN
§ Petani harus net saversè Pengeluaran konsumsi oleh petani < produksi
§ Tabungan petani > investasi sektor pertanian

Kontribusi Devisa.
Kontribusinya melalui :
§ Secara langsungè ekspor produk pertanian & mengurangi impor.
§ Secara tidak langsungè peningkatan ekspor & pengurangan impor produk
  berbasis pertanian spt tekstil, makanan & minuman, dll

Kontradiksi kontribusi produk & kontribusi deviasè peningkatan ekspor produk pertanian
menyebabkan suplai dalam negari kurang dan disuplai dari produk impor. Peningkatan ekspor
produk pertanian berakibat negative thd pasokan pasar dalam negeri. Untuk menghindari trade
off ini 2 hal yg harus dilakukan:
§ Peningkatan kapasitas produksi.
§ Peningkatan daya saing produk produk pertanian

2. Sektor Pertanian di Indonesia
§  Selama periode 1995-1997è PDB sektor pertanian (peternakan, kehutanan & perikanan) menurun & sektor lain spt menufaktur meningkat.
§ Sebelum krisis moneter, laju pertumbuhan output sektor pertanian < ouput sektor non pertanian
§ 1999 semua sektor turun kecuali listrik, air dan gas.

Rendahnya pertumbuhan output pertanian disebabkan:
§ Iklimè kemarau jangka panjang berakibat volume dan daya saing turun
§ Lahanè lahan garapan petani semakin kecil
§ Kualitas SDMè rendah
§ Penggunaan Teknologièrendah

Sistem perdagangan dunia pasca putaran Uruguay (WTO/GATT) ditandatangani oleh 125 negara anggota GATT telah menimbulkan sikap optimisme & pesimisme Negara LDC’s:
§ Optimisè Persetujuan perdagangan multilateral WTO menjanjikan berlangsungnya perdagangan bebas didunia terbebas dari hambatan tariff & non tariff
§ Pesimisè Semua negara mempunyai kekuatan ekonomi yg berbeda. DC’s mempunyai kekuatan > LDC’s

Perjanjain tsb merugikan bagi LDC’s, karena produksi dan perdagangan komoditi pertanian, industri & jasa di LDC’s masih menjadi masalah besar & belum efisien sbg akibat dari rendahnya teknologi & SDM, shg produk dri DC’s akan membanjiri LDC’s.

Butir penting dalam perjanjian untuk pertanian:
§ Negara dg pasar pertanian tertutup harus mengimpor minimal 3 % dari kebutuhan konsumsi domestik dan naik secara bertahap menjadi 5% dlm jk waktu 6 tahun berikutnya
§ Trade Distorting Support untuk petani harus dikurangi  sebanyak 20% untuk DC’s dan 13,3 % untuk LDC’s selama 6 tahun
§ Nilai subsidi ekspor langsung produk pertanian harus diturunkan sebesar 36% selama 6 tahun & volumenya dikurangi 12%.
§ Reformasi bidang pertanian dlm perjanjian ini tdk berlaku utk negara miskin

Temuan hasil studi dampak perjanjian GATT:
§ Skertariat GATT (Sazanami, 1995)è Perjanjian tsb berdampak + yakni peningkatan pendapatan per tahun è Eropa Barat US $ 164 Milyar, USA US$ 122 Milyar, LDC’s & Eropa Timur US $ 116 Milyar. Pengurangan subsidi ekspor sebesar 36 % dan penurunan subsidi sector pertanian akan meningkatkan pendapatan sector pertanian Negara Eropa US $ 15 milyar & LDC’s US $ 14 Milyar
§ Goldin, dkk (1993)è Sampai th 2002, sesudah terjadi penurunan tariff & subsidi 30% manfaat ekonomi rata-rata pertahun oleh anggota GATT sebesar US $ 230 Milyar (US $ 141,8 Milyar / 67%0 dinikmati oleh DC’s dan Indonesia rugi US $ 1,9 Milyar pertahaun
§ Satriawan (1997)è Sektor pertanian Indonesia rugi besar dlm bentuk penurunan produksi komoditi pertanian sebesar 332,83% dengan penurunan beras sebesar 29,70% dibandingkan dg Negara ASIAN
§ Feridhanusetyawan, dkk (2000)è Global Trade Analysis Project mengenai 3 skenario perdagangan bebas yakni Putaran Uruguay, AFTA & APEC. Ide dasarnya: apa yang terjadi jika 3 skenario dipenuhi (kesepakatan ditaati) dan apa yang terjadi jika produk pertanian diikutsertakan? Perubahan yang diterapkan dalam model sesuai kesepakatan putaran Uruguay adalah:
    a. Pengurangan pajak domestic & subsidi sector pertanian sebesar 20% di
       DC’s dan 13 % di LDC’s
    b. Penurunan pajak/subsidi ekspor sector pertanian 36% di DC’s & 24% di
       LDC’s
    c. Pengurangan border tariff untuk komoditi pertanian & non pertanian

Liberalisasi perdagangan berdampak negative bagi Indonesia thd produksi padi & non gandum. Untuk AFTA & APEC, liberalisasi  perdagangan pertanian menguntungkan Indonesia dg meningkatnya produksi jenis gandum lainnya (terigu, jagung & kedelai). AFTAèIndonesia menjadi produsen utama pertanian di ASEANdan output pertanian naik lebih dari 31%. Ekspor pertanian naik 40%.

3. Nilai Tukar Petani (NTP)
Nilai tukarè nilai tukar suatu barang dengan barang lainnya. Jika harga produk A Rp 10 dan produk B Rp 20, maka nilai tukar produk A thd B=(PA/PB)x100% =1/2. Hal ini berarti 1 produk A ditukar dengan ½ produk B. Dengan menukar ½ unit B dapat 1 unit A. Biaya opportunitasnya adalah mengrobankan 1 unit A utk membuat ½ unit B.

Dasar Tukar (DT):
§ DT dalam negeriè pertukaran 2 barang yang berbeda di dalam negeri dg mata uang nasional
§ DT internasional / Terms Of Tradeè pertukaran 2 barang yang berbeda di dalam negeri dg mata uang internasional

Nilai Tukar Petaniè Selisih harga output pertanian dg harga inputnya (rasio indeks harga yang diterima petani dg indeks harga yang dibayar).
Semakin tinggi NTPè semakin baik.

NTP setiap wilayah berbeda dan ini tergantung:
§ Inflasi setiap wilayah
§ Sistem distribusi input pertanian
§ Perbedaan ekuilibrium pasar komoditi pertanian setiap wilayah (D=S)
    D>Sè harga naik & D<Sè harga turun
IV.Kesimpulan
Pengaruh sektor pertanian lebih kecil bila di bandingkan sektor industri. Hal ini menyebabkan sektor partanian tidak mampu menimbulkan efek pertumbuhanyang kuat apabila tidak di sertai dengan peningkatan sektor industri mempunyai nilai lebih dari 1 yang berarti pertumbuhan PDRB atas dasar harga konstan masih dapat di andalkan dari sektor pertanian dan sektor industri .
V.Daftar Pustaka

Rabu, 16 Maret 2011

kesenjangan dan kemiskinan


I.Pendahuluan
ekonomi antara penduduk desa dan kota sudah memprihatinkan. Bahkan di nesia bagian barat tingkat kesenjangan antara desa dan kota diukur dari tingkat kontribusi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) terhadap Produk Domestik Bruto nasional jauh melebihi kawasan Indonesia bagian timur.
Direktur Perkotaan Pedesaan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Hayu Parasati, mengungkapkan tingginya kesenjangan di kawasan Indonesia barat tidak terlepas dari pembangunan infrastrukur yang tidak disertai dengan pembangunan desa. Ini menyebabkan aliran modal lebih banyak menuju perkotaan.
“Itulah sebabnya, kenapa tingkat kesenjangan antara kota dan desa banyak di wilayah Indonesia barat mencapai 227 persen (data terakhir 2009),” ujarnya dalam diskusi Masalah-Masalah dan Kebijakan Pembangunan Daerah Secara Nasional, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Senin (19/7). Angka ini lebih tinggi dari kawasan Indonesia timur yang tingkat kesenjangan hanya 171 persen.

II.Pembahasan
2.1 Kesenjangan
Kesenjangan pendapatan masyarakat ke depan bakal makin meningkat akibat terjadinya “decoupling” sektor finansial dan riil. Ada kecenderungan makin melebarnya gap antara kaya-miskin. Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin.Oleh karena itu, menurutnya, finansial dan sektor riil. semakin kayanya masyarakat berpendapatan ekonomi tinggi didorong oleh kemampuan mereka untuk mengakses sektor finansial yang saat ini berkembang pesat. Sementara masyarakat berpendapatan ekonomi menengah ke bawah kesulitan untuk mengakses sektor serupa. Di sisi lain, katanya, sektor riil yang diharapkan bisa menolong masyarakat ekonomi menengah-bawah masih terkendala ekonomi biaya tinggi.Hayu memperkirakan jumlah penduduk kota pada tahun 2015 akan jauh lebih banyak dibandingkan dengan desa. Perbandingannya antara 56 persen dan 44 persen. Ironisanya, 80 persen wilayah Indonesia berada di perdesaan.Harus ada upaya untuk mengatasi permasalah ini karena kita dituntut untuk bersaing. Direktur Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Suprayoga Hadi, mengungkapkan sejak adanya pemekaran, jumlah daerah tertinggal kembali meningkat menjadi 183 daerah. Padahal pemerintah telah mengurangi angka daerah tertinggal dari sebelumnya 199 menjadi 149.“Antara tahun 2010 sampai dengan 2014 ini kita targetkan akan ada pengurangan 50 daerah tertinggal dari total 183 itu. Kita juga punya alternatif target positif yakni 70 daerah tertinggal bisa terentaskan,” jelasnya.Upaya itu, kata dia, dengan melakukan pembangunan pedesaan lintas sektor. Bagaimana membangun daya tarik desa dan menyusun standard pelayanan minimum. “Sebagian besar mereka yang tinggal di pedesaan berprofesi sebagai petani. Sedangkan kontribusi sektor pertanian bagi pertumbuhan ekonomi nasional masih sangat rendah, pada 2005 hanya 13 persen dan tahun 2009 meningkat menjadi 14 persen,” paparnya.Direktur Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Suprayoga Hadi, mengungkapkan sejak adanya pemekaran, jumlah daerah tertinggal kembali meningkat menjadi 183 daerah. Padahal pemerintah telah mengurangi angka daerah tertinggal dari sebelumnya 199 menjadi 149.“Antara tahun 2010 sampai dengan 2014 ini kita targetkan akan ada pengurangan 50 daerah tertinggal dari total 183 itu. Kita juga punya alternatif target positif yakni 70 daerah tertinggal bisa terentaskan,” jelasnya.

2.2 Kemiskinan
Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan , pakaian , tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan. Kemiskinan merupakan masalah global. Sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan.
Kemiskinan dipahami dalam berbagai cara. Pemahaman utamanya mencakup:
·         Gambaran kekurangan materi, yang biasanya mencakup kebutuhan pangan sehari-hari, sandang, perumahan, dan pelayanan kesehatan. Kemiskinan dalam arti ini dipahami sebagai situasi kelangkaan barang-barang dan pelayanan dasar.
·         Gambaran tentang kebutuhan sosial, termasuk keterkucilan sosial, ketergantungan, dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Hal ini termasuk pendidikan dan informasi. Keterkucilan sosial biasanya dibedakan dari kemiskinan, karena hal ini mencakup masalah-masalah politik dan moral, dan tidak dibatasi pada bidang ekonomi.
·         Gambaran tentang kurangnya penghasilan dan kekayaan yang memadai. Makna "memadai" di sini sangat berbeda-beda melintasi bagian-bagian politik dan ekonomi di seluruh dunia.

 2.3Kesenjangan pada Pendapatan Masyarakat
pemerintah seharusnya menerapkan kebijakan fiskal-moneter yang bisa mempertemukan antara sektor finansial dan sektor riil. Dia menambahkan, semakin kayanya masyarakat berpendapatan ekonomi tinggi didorong oleh kemampuan mereka untuk mengakses sektor finansial yang saat ini berkembang pesat. Sementara masyarakat berpendapatan ekonomi menengah ke bawah kesulitan untuk mengakses sektor serupa. Di sisi lain, katanya, sektor riil yang diharapkan bisa menolong masyarakat ekonomi menengah-bawah masih terkendala ekonomi biaya tinggi.  “Orang kan inginnya dapat penghasilan tinggi. Ketika sektor riil terkendala, sedang finansial menarik karena penghasilan tinggi, ya orang pilih finansial dibanding sektor riil. Tinggal taruh uang di deposito, dapat bunga tinggi,” kata Slamet. Slamet menuturkan, di sektor finansial terdapat pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) yang cenderung terus menanjak.  Per 2005 saja, kata dia, pertumbuhan DPK mencapai sekitar Rp75,8 triliun dengan pertumbuhan tahunan di dua tahun selanjutnya senilai 7,88%. Kontributor terbesar DPK, katanya, adalah kelompok rumah tangga, terutama kelompok kaya di perkotaan, dan pemerintahan. Sedangkan kelompok bisnis cenderung hampir tidak ada karena lebih banyak diinvestasikan dalam bentuk surat utang.
Sementara itu, pengamat pasar modal Adler Manurung membenarkan, ke depan kecenderungan kesenjangan pendapatan antara kelompok kaya-miskin bakal terus melebar. “Yang kaya akan terus bertambah, namun pada saat bersamaan yang miskin juga akan ikut naik,” ujar dia.
Menurut Adler, melebarnya kesenjangan kedua kelompok sosial ekonomi ini lebih diakibatkan oleh belum terarahnya distribusi belanja pemerintah. Ketidakterarahan ini menyebabkan belanja investasi menjadi tersendat. Akibatnya, meski secara nilai pertumbuhan ekonomi cukup tinggi, namun secara realitas kurang berkualitas.  “Pada gilirannya, ini memerlukan optimalisasi belanja pemerintah. Ini akan mampu memberikan suntikan investasi bagi yang lain. Perbaiki itu jalan jalan. Itu akan mendorong rakyat kecil mendapatkan pendapatan. Kalau mereka dapat uang, daya beli mereka akan naik,” ujar dia.Di sisi pasar modal, kata dia, yang banyak menikmati profit adalah para pelaku pasar yang berjumlah sedikit. Sayangnya lagi, tambah dia, para pelaku pasar ini mayoritas kalangan pengusaha asing.  Sedangkan Pengamat Ekonomi Raden Pardede mengatakan, agar pertumbuhan ekonomi bisa lebih bernilai bagi masyarakat, maka pemerintah seharusnya menggenjot investasi terutama di sektor industri manufaktur.
Menurut dia, berkembangnya industri ini akan menyerap angkatan kerja dalam jumlah yang cukup banyak.  Selain itu, Raden menilai perlunya pemerintah mendorong pengalihan DPK sektor finansial ke sektor riil.  “Sebab kalau dua persen saja dari dana yang ada saat ini  diinvestasikan, itu bisa memberikan efek pertambahan pertumbuhan ekonomi sekitar 0,7 persen,” ujar dia

2.4 Factor-faktor penyebab kemiskinan
Dalam masalah Suara Yaahowu (yang tidak terbit lagi) no. 4 Tahun 1 September 1996, Juliman Harefa mengutuip Suara Yaahowu edisi perdana (yang penulis tidak miliki) yang merangkum 7 hal penyebab keterbelakangan Nias. Ketujuh hal tersebut adalah: (1) tingkat pendidikan masyarakat yang rata-rata rendah, (2) cara berpikir yang masih tradisional dan konservatif, apatis dan anti hal-hal baru, (3) mentalitas dan etos kerja yang kurang baik, (4) keadaan alam yang kurang mendukung, (5) keterisoliran secara geografis dari pusat, (6) tiadanya potensi atau produk andalan, (7) rendahnya kinerja dan budaya korup aparatur pemerintah daerah.
Faktor-faktor di atas dapat diperdebatkan validitasnya karena sejumlah alasan berikut. Pertama, terlihat hubungan kausal dan sirkuler (berputar-putar) antara beberapa factor. Sebagai contoh, faktor pertama (tingkat pendidikan yang rendah) bisa menjadi penyebab (kausa) dari faktor kedua (cara berpikir tradisional dan konservatif); tetapi bisa juga sebaliknya (ingat kasus: telur-ayam-telur). Menurut hukum kausalitas, sebenarnya kedua factor itu tidak setara: yang satu menyebabkan yang lain, maka kedua faktor itu sebenarnya bisa dan harus direduksi menjadi satu, sementara yang lain hilang. Tetapi proses reduksi tidak mungkin karena adanya sifat sirkuler itu. Dengan demikian, kedua faktor tersebut gugur dengan sendirinya.
Kedua, dan ini lebih serius sifatnya: ada tiga faktor yang merujuk kepada “pengkambinghitaman” alam, yakni faktor (4), (5) dan (6). Hal ini agak mengherankan, sebab berbagai kasus besar sepanjang sejarah dunia menunjukkan hal yang sebaliknya: alam yang sering mengganggu, mengambuk dan tidak bersahabat justru menjadi pemicu dan pendorong lahirnya kreativitas manusia sepanjang zaman, pendorong lahirnya ilmu dan teknologi yang memungkinkan manusia tidak saja berhasil menjinakkan alam tetapi juga menaklukkannya. Dua dari begitu banyak contoh dapat dikemukakan di sini: Jepang yang terletak di daerah gempa (seperti juga Nias) dan miskin sumber daya alamnya dan Australia modern yang lahir dari perjuangan “para orang buangan bangsa Eropa” yang menantang alam “terra incognita” Australia.
Memang, seperti dikemukakan van Peursen dalam bukunya Strategi Kebudayaan (1980), ada tahap kebudayaan yang disebutnya tahap ontologis di mana manusia pasrah pada alam, tahap di mana manusia mencari jawaban ‘seadanya’ dari pertanyaan yang sering mengusik eksistensinya setiap saat. Pada tahap itulah, misalnya, masyarakat meyakini kausalitas antara bunyi gendang, tambur atau kentong yang dipukul dengan menghilangnya gerhana bulan. Hal (baca: tahap) itu masih dialami masyarakat Nias pada tahun 1970an ke bawah, bahkan masih dijumpai di sana sini hingga saat ini. Persoalannya adalah kita, yang bangga disebut kaum “intelektual”, kaum “terdidik” seperti masih berada dalam tahap ontologis itu.
Ketiga, kemiskinan adalah hal yang dapat dikuantifikasi, artinya hal yang dapat (dan mestinya) dinyatakan secara kuantitatif. Kita misalnya mengenal apa yang disebut sebagai pendapatan per kapita yang menjadi ukuran apakah masyarakat di daerah tertentu berada di atas, tepat pada atau di bawah garis kemiskinan. Dengan demikian, faktor-faktor penyebabnya pun mesti dapat dikuantifikasi. Dengan cara ini kita dengan mudah melihat bobot pengaruh dari masing-masing faktor terhadap pokok masalah (kemiskinan). Faktor-faktor yang dikemukakan di atas terlalu sulit (kalau tidak mustahil) untuk dikuantifikasi, sehingga kita tidak akan pernah bisa memunculkan suatu rujukan bersama daripadanya. Dengan demikian, membicarakannya saja sudah akan menggiring kita ke dalam suatu perdebatan yang melingkar-lingkar dan tak berkesudaan.
Keempat, dengan menggugat 5 (yaitu faktor no 1, 2, 4, 5, 6) dari ke 7 faktor yang dikemukakan di atas, rangkuman tersebut menjadi tidak relevan. Namun terlepas dari argumen ini, faktor ke 7 (rendahnya kinerja dan budaya korup aparat pemerintahan di daerah) semestinya tidak dimasukkan menjadi salah satu faktor penyebab keterpurukan. Faktor ke 7 justru seharusnya menjadi asumsi dasar atau prakondisi pembangunan itu sendiri: pembangunan daerah dilakukan oleh aparat pemerintahan daerah yang bersih, berkinerja tinggi, dan mempunyai visa dan misi yang jelas. Asumsi dasar atau prakondisi ini akan bisa direalisasikan oleh DPRD yang bekerja baik, jujur, berdedikasi tinggi, berwawasan luas, yang akan memilih untuk masyarakat Nias seorang pemimpin yang pada dirinya melekat asumsi dasar tadi.

III. Kesenjangan Ekonomi Semakin Lebar
-         - Perekonomian Indonesia pada 2010 tumbuh 6,1 persen, melampaui target 5,8 persen. Nilai produk domestik bruto naik dari Rp 5.603,9 triliun pada 2009 menjadi Rp 6.422,9 triliun tahun lalu. Namun, pertumbuhan ekonomi ini menimbulkan kesenjangan di masyarakat.Pengamat ekonomi Yanuar Rizky di Jakarta, Senin (7/2/2011), mengatakan, kelompok masyarakat yang sangat kaya masih menjadi penyokong utama pertumbuhan ekonomi melalui konsumsi rumah tangga mereka.ektor industri berorientasi penciptaan nilai tambah penyerap lapangan kerja, yang menjadi salah satu indikator kesuksesan pertumbuhan ekonomi, justru kian melemah.Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Rusman Heriawan mengumumkan, pertumbuhan ekonomi pada 2010 dengan nilai produk domestik bruto (PDB) Rp 6.422,9 triliun dan pendapatan per kapita mencapai Rp 27 juta per tahun.Jumlah ini didapat dari membagi Rp 6.422,9 triliun dengan 237,6 juta penduduk Indonesia.Rusman menjelaskan, konsumsi rumah tangga menyumbang kue pertumbuhan terbesar, yakni 56,7 persen, disusul investasi 32,2 persen. Idealnya, konsumsi rumah tangga terus menurun hingga di bawah 50 persen, seperti yang terjadi di negara-negara maju.
Pertumbuhan PDB pun kemudian didukung oleh ekspansi investasi, terutama untuk industri manufaktur yang menciptakan lapangan kerja.Meski demikian, komposisi investasi yang sudah melebihi 30 persen dari PDB telah menunjukkan ada sirkulasi yang bermanfaat bagi perekonomian jangka panjang.Pertumbuhan ekonomi pada 2010 telah menciptakan lapangan kerja baru sebanyak 3,34 juta orang. Dengan demikian, menurut Rusman, setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi pada 2010 mampu menciptakan lapangan kerja baru bagi 548.000 orang.
”Ini cukup bagus. Penciptaan lapangan kerja paling besar pertama adalah sektor jasa 325.000 orang. Nomor dua industri pengolahan yang mampu menyerap 220.000 orang,” ujarnya.Yanuar Rizky berpendapat, konsumsi penopang pertumbuhan ekonomi baru dikatakan berkualitas apabila mampu mendorong kegiatan produksi yang menyerap lapangan kerja. Pertumbuhan ekonomi kita seperti terpisah dari fungsi produksi.Sektor jasa dari perdagangan, hotel, dan restoran tumbuh sebesar 8,7 persen dan menjadi penyumbang terbesar terhadap total pertumbuhan PDB, yakni 1,5 persen.Sumber pertumbuhan PDB terbesar lain adalah angkutan dan industri, masing-masing 1,2 persen.Konsumsi rumah tangga masih menopang pertumbuhan ekonomi dengan kontribusi 2,7 persen dan investasi 2 persen.Menurut Yanuar, konsumsi rumah tangga yang tinggi tersebut sebagian besar didukung oleh kelompok masyarakat berpendapatan tinggi. Konsumsi nasional pun ternyata gagal mendorong kegiatan produksi karena sebagian besar kebutuhan domestik didapat lewat impor.Yanuar mengutip laporan Asia Wealth Report 2010 yang memaparkan secara rinci ke mana saja distribusi investasi kekayaan orang-orang kaya di Asia-Pasifik, termasuk Indonesia.Kelompok orang kaya Indonesia menyimpan 33 persen aset kekayaan mereka dalam bentuk deposito atau tabungan, real estat (22 persen), saham (19 persen), reksa dana pendapatan tetap (16 persen), dan investasi alternatif, seperti kurs mata uang asing atau komoditas (10 persen).”Jadi, kebanyakan peningkatan pendapatan itu berasal dari deposito dan instrumen finansial lain dan yang menikmati hanya 200.000 pemilik rekening di atas Rp 100 juta, menurut data BPS. Bagaimana bisa berkualitas kalau pertumbuhan lebih rendah dari inflasi (6,96 persen) dan orang yang tumbuh saat ini hanya pemilik modal yang mampu bermain di pasar uang, bukan berproduksi,” ujar Yanuar.
3.1 KEBIJAKAN ANTI KEMISKINAN
Kebijakan anti kemiskinan dan distribusi pendapatan mulai muncul sebagai bijakan yang sangat penting dari lembaga-lembaga dunia, seperti Bank Dunia, ADB,ILO, UNDP, dan lain sebagainya.
Tahun 1990, Bank Dunia lewat laporannya World Developent Report on Proverty mendeklarasikan bahwa suatu peperangan yang berhasil melawan kemiskinan perlu dilakukan secara serentak pada tiga front : (i) pertumbuhan ekonomi yang luas dan padat karya yang menciptakan kesempatan kerja dan pendapatan bagi kelompok miskin, (ii) pengembangan SDM (pendidikan, kesehatan, dan gizi), yang memberi mereka kemampuan yang lebih baik untuk memanfaatkan kesempatan-kesempatan yang diciptakan oleh pertumbuhan ekonomi, (iii) membuat suatu jaringan pengaman sosial untuk mereka yang diantara penduduk miskin yang sama sekali tidak mamu untuk mendapatkan keuntungan-keuntungan dari pertumbuhan ekonomi dan perkembangan SDM akibat ketidakmampuan fisik dan mental, bencana alam, konflik sosial, dan terisolasi secara fisik.
Untuk mendukung strategi yang tepat dalam memerangi kemiskinan tervensi-intervensi pemerintah yang sesuai dengan sasaran atau tujuan perantaranya dapat dibagi menurut waktu, yaitu :
1.     Intervensi jangka pendek, berupa :
2.    Pembangunan sektor pertanian, usaha kecil, dan ekonomi pedesaan
3.    Manajemen lingkungan dan SDA
4.    Pembangunan transportasi, komunikasi, energi dan keuangan
5.    Peningkatan keikutsertaan masyarakat sepenuhnya dalam pembangunan
6.    Peningkatan proteksi sosial (termasuk pembangunan sistem jaminan sosial)
1.     Intervensi jangka menengah dan panjang, berupa :
1.     Pembangunan/penguatan sektor usaha
2.    Kerjsama regional
3.    Manajemen pengeluaran pemerintah (APBN) dan administrasi
4.    Desentralisasi
5.    Pendidikan dan kesehatan
6.    Penyediaan air bersih dan pembangunan perkotaan
7.    Pembagian tanah pertanian yang merata

V.Kesimpulan .
Supaya tidak terjadi kesenjangan dan kemiskinan penduduk,seharusnya pemerintah lebih menekan kan pada lowongan pekerjaan .Pemerintah harusnya membuat lapangan pekerjaan yang lebih luas . pemerintah seharusnya menerapkan kebijakan fiskal-moneter yang bisa mempertemukan antara sektor finansial dan sektor riil.

VI.Daftar Pustaka